VARTADIY.com, YOGYA - Tak sedikit upacara tradisi yang kian terpinggirkan di kehidupan masyarakat. Di era teknologi sekarang ini, seolah manusia tak butuh ritual adat lagi. Ada yang menganggap buang biaya, pun tak berdaya guna. Sia-sia.
Toh begitu, masih ada yang peduli tradisi. Melaksanakan ritual warisan leluhur di zaman pintar ini. Salah satunya Luvita Pradana Puspita Sari SSn MA, pemilik Sanggar Krincing Manis di Jaban Tridadi Sleman Yogyakarta. Minggu 4 Desember 2022, Luvita Pradana Puspita Sari bersama suaminya, Gusfahri Gunawan melaksanakan upacara tedak siten di Dusun Karangtanjung Pandowoharjo Sleman Yogyakarta.
Tedak siten merupakan prosesi adat di mana anak belajar menginjakkan kaki ke tanah. Anak Luvita Pradana Puspita Sari dan Gusfahri Gunawan: Lodyabhakta Mahagahya Guslavia (akrab dipanggil Yotta) berusia 9 bulan.
"Selain ingin melestarikan budaya leluhur yang adiluhung, juga berharap agar anak kami Yotta, dalam menapaki kehidupan selalu diberkati Tuhan, menemukan kemudahan," terang Luvita Pradana Puspita Sari yang dikenal sebagai penari juga dosen Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta.
Tedak berarti turun, siten tanah. Upacara adat ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada bumi tempat anak belajar menginjakkan kaki. Prosesi ini terdiri beberapa tahap. Pun melibatkan banyak ubarampe. Yaitu tumpeng, gudangan, jenang abang, jenang putih, jenang baro-baro, jajan pasar, nasi gurih, dan ingkung ayam.
Tedak siten Yotta dipandu Panji CJDW yang dikenal sebagai seniman tradisi. Prosesi diawali Yotta yang digendong kedua orangtuanya, sungkem kepada dua neneknya: Sri Mulyati dan Sayem Susana. Setelah itu kaki Yotta dibersihkan. Kemudian menginjak pasir tanpa alas kaki alias nyeker. Simbol ceker-ceker, bekerja dan mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dilanjut berjalan melewati tujuh wadah berisi jadah tujuh warna. Jadah makanan terbuat dari ketan dan kelapa. "Warna putih bermakna suci, cinta kasih, tulus dan ikhlas. Warna kuning berarti kemuliaan. Warna merah simbol keberanian. Jadah warna biru lambang ketulusan. Warna hijau melambangkan kesuburan. Warna ungu bermakna bijaksana. Sedang jadah warna hitam lambang kepandaian," terang Panji CJDW yang dikenal sebagai pewara berbagai acara.

Setelah berjalan di tujuh jadah berwarna, Yotta naik tangga yang terbuat dari tebu arjuna sebanyak tujuh tataran. Makna prosesi naik tangga tebu adalah selangkah-selangkah memulai kehidupan dewasa. Tebu yang dikenal sebagai bahan pembuat gula pasir manis, bermakna langkah yang akan ditemui dalam kehidupan mendatang selalu manis. Menemu kebahagiaan. Terhindar dari masalah-masalah pahit.
Kemudian Yotta duduk di kursi terbuat dari tebu. Maknanya sama dengan mendaki tebu arjuna tujuh tataran: selalu dikelilingi dan dihinggapi yang baik, indah serta penuh kebahagiaan.
Ritual selanjutnya, Yotta dimasukkan ke kurungan ayam yang terbuat dari bambu. Berisi banyak mainan anak. Seperti pensil, sisir, buku, stetoskop dokter, dan lainnya. Panji CJDW dalam orasi pengantar di hadapan banyak tamu undangan menyebut, prosesi ini diharapkan akan menjadi bagian masa depan Yotta. Jika mengambil mainan stetoskop dokter, ke depan Yotta bisa menjadi dokter harapannya.
Prosesi berikutnya, Yotta mandi banyu gege. Air yang dibiarkan semalaman di tempat terbuka dan paginya kena sinar matahari. Usai dimandikan, nenek Yotta melempar udhik-udhik. Yaitu beras yang dicampur kunyit dan uang logam serta bunga. Dilempar dan diperebutkan para tamu. Makna prosesi ini, diharap kelak Yotta menjadi dermawan.
Prosesi terakhir, menyeret geretan. Geretan terbuat dari tebu yang bermakna anteping kalbu (kemantapan jiwa), ingkung dan pisang raja. Ubarampe tedak siten di sesi terakhir dibagikan kepada penonton, terutama anak-anak. Ada telur merah berhias dan sejumlah mainan anak seperti peluit bambu, burung-burungan.
Luvita Pradana Puspita Sari dan Gusfahri Gunawan sebagai orangtua Yotta, lega atas terselenggaranya acara tedak siten ini. "Ritual ini bermakna mengajarkan anak konsep kemandirian dan tanggungjawab, serta tangguh menghadapi persoalan, pun jadi dermawan," papar Luvita Pradana Puspita Sari yang pernah pentas tari hingga Jepang, Singapura, dan Thailand.