VARTADIY.COM – SLEMAN- Pesantren mandiri. Itulah semangat yang digelorakan KH Muhammad Abdullah Sonhaji, Pengasuh Ponpes Qolbun Salim, Bukit Boko Prambanan. Pesantren sebaiknya tak menggantungkan diri kepada pihak lain, termasuk menyebar proposal ketika sedang membangun sarana fisik maupun untuk membiayai aktivitas dakwah.
Maka agar bisa mandiri, kiai sebagai pilar utama pesantren harus punya usaha. Hasil dari usahanya tersebut sebagian dialokasikan untuk operasional pesantren, membiayai kegiatan dakwah, serta mengembangkan sarana dan prasarana pendukung kiprah pesantren.
Baca Juga: Lucia Ardiona Tampil di Central Java Fashion Week 2023
Salah satu aktivitas dakwah yang rutin diselenggarakan di Qolbun salim adalah mujahadah dan manaqiban. Setiap Kamis malam, ratusan orang hadir mengikuti mujahadah dan manaqiban di Pondok Pesantren Qolbun Salim, Bukit Boko Prambanan. Bahkan sebelum pandemi Covid 19, jumlah jemaah yang hadir bisa ribuan orang. Berseragam putih-putih, mereka berasal dari berbagai kota di Jogja dan Jateng.
Tak hanya rutinitas mujahadah dan manaqib yang menarik jemaah untuk hadir di pesantren ini. Ada yang uniktersebut. Ada magnet lain yang menjadi daya tarik jemaah hadir, yaitu wisata kuliner gratis usai prosesi mujahadah dan manaqib.
Di kompleks pesantren yang menempati areal lebih dari 3 hektare ini, dibangun masjid dan pondok-pondok dengan konsep arsitektur jawa. Di antara bangunan-bangunan asri tersebut disediakan semacam food court.
Baca Juga: Wapres Minta Masyarakat Dukung Pembangunan SDM Unggul dengan IPTEK
Di food court itulah setiap Kamis malam usai mujahadah dan manaqib, jemaah bebas mengambil menu yang disajikan di gubug-gubug yang tersedia. Ada gubug soto, nasi urab, rawon, bakso, bahkan jika beruntung kadang tersedia sate dan berbagai makanan lezat lain. Lengkap dengan berbagai minuman, buah, serta camilan gorengan.
Yang membedakan lagi, prosesi mujahadah dan manaqib berlangsung khidmad, singkat dan padat. Sehingga tak sampai tengah malam rangkaian acara usai. Rombongan jemaah dari luar kota, usai mengikuti acara, biasanya oleh pihak pesantren disediakan bingkisan, sekadar untuk bekal perjalana pulang.
Baca Juga: Yossie Riyani - Anang GSG Adakan Syawalan
KH Muhammad Abdullah Sonhaji atau yang lebih dkenal sebagai Abah Sony berusaha mewujudkan obsesi memiliki pondok pesantren yang tak hanya mengajarkan ilmu agama, namun juga bermanfaat langsung bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Untuk mewujudkan obsesi besarnya itu, tidak bisa tidak, pesantren harus mandiri dan memiliki pondasi ekonomi. Pesantren tak boleh tergantung kepada donasi jemaah dan masyarakat. Pesantren harus mandiri secara ekonomi.
Obsesi tersebut terus tertanam dalam benak kiai dari keluarga Ponpes Buntet Cirebon ini. Dia membangun pesantren dari bawah. Bermula dari aktivitasnya semasa muda, berdakwah sambil jualan bakso keliling di kampung Pulo, yang pada tahun 1970-1980 dikenal sebagai kawasan prostitusi di Prambanan.
Baca Juga: Seorang Penonton Meditasi di Depan Lukisan Raja Keraton Yogyakarta