VARTADIY.com - Memasuki usia 75 tahun, tidak membuat Ahmad Tohari bongkok dan goyah (pinjam diksi Rendra). Sastrawan yang kondang lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk ini masih bergairah berkarya. Masih mengamati karya sastra.
Tiap Minggu, Ahmad Tohari membaca cerpen di 2-3 koran. Menulis juga masih meski hanya cerpen. Karyanya, Mereka Mengeja Larangan Mengemis, masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 2019. Bikin cerpen, alternatif berkarya bagi Ahmad Tohari.
"Kalau novel perlu energi besar. Saya tak punya energi itu lagi. Bikin cerpen saja," ungkap Ahmad Tohari pada VARTADIY.com.
Masih eksis di usia senja, bukti empirik bahwa Ahmad Tohari bukan hanya legenda masa lalu yang patut dikenang. Ia masih punya kemampuan, bisa bersaing dengan penulis baru. Ahmad Tohari bertanggungjawab pada profesinya: menulis. Meski diakui tetap menggunakan jalur lama, tak memanfaatkan teknologi yang berkembang sedemikian pesat.
Baca Juga: Di Playen Gunungkidul, Ibu-ibu Belajar Nulis Cerpen Sambil Gendong Anak
Baca Juga: Camilan Harian Ebiet G Ade: Lanting
"Akan tetap menulis. Tapi tak mau masuk medsos. Dari awal tak ingin masuk (media sosial). Saya kuno. Jadul. Membiarkan masyarakat maju dengan medsosnya, saya dengan HP jadul saja. Tak bisa WA (WhatsApp)," ucap Ahmad Tohari yang tinggal di Tinggarjaya Jatilawang Banyumas.
Sebagai sastrawan senior, Ahmad Tohari masih dicari banyak orang. Anak muda peminat sastra menimba ilmu darinya. Dan Ahmad Tohari dengan senang hati membimbing mereka. Di rumahnya, ada ruangan yang diberi nama Rumah Seni. Di tempat itu Ahmad Tohari membagi pengalaman dan kiat pada tamu-tamu yang ingin menimba ilmu.
"Saya selalu memberi semangat peminat sastra, terutama yang muda-muda. Di SMA-SMA, saya membahas pentingnya sastra khususnya dan bahasa Indonesia secara umum. Pesan saya pada mereka (anak muda), sastra itu membawa zamannya. Maka jangan terpengaruh saya. Saya gaya lama, tahun 60-an. Pakai saja gaya sekarang. Jangan mundur ke zaman saya," terang Ahmad Tohari yang karyanya diterjemahkan ke bahasa Belanda, Jerman, Inggris, Cina, dan Jepang.
Di mata bapak lima anak ini, generasi sekarang lebih menguasai teknologi. Realitas itu bisa membuat mereka menulis kapan saja dan di mana saja. Hal tersebut sangat positif. Bisa membantu melahirkan sastrawan muda. Tinggal mengalihkan ke cetak agar bisa diterbitkan dalam bentuk buku.
"Kini menerbitkan buku sederhana sekali. Di pinggir jalan banyak percetakan.
Beruntunglah orang zaman sekarang. Zaman saya dulu harus ke Jakarta," papar Ahmad Tohari yang tak menampik, gampang menerbitkan buku di era sekarang kadang tidak diimbangi kualitas.
"Betul ada reduksi. Hukum biasanya, kualitas dan kuantitas itu kadang berbanding terbalik. Jadi memang berbahaya sekali kalau orang cepat merasa sebagai sastrawan, padahal baru nulis di medsos. Baru beberapa puisi dimuat (di media cetak), dapat tanggapan, merasa telah menjadi sastrawan. Perasaan yang datang terlalu cepat," ujar Ahmad Tohari.