• Kamis, 28 September 2023

Penyair Fauzi Absal Bilang, Puisi Tak Bisa Menghidupi

- Jumat, 31 Maret 2023 | 13:05 WIB
Fauzi Absal, penyair senior Yogyakarta. (Istimewa)
Fauzi Absal, penyair senior Yogyakarta. (Istimewa)



VARTADIY.com, YOGYA - Sobekan koran di sekolah diinjak Fauzi Absal. Remaja itu lalu mengambil, dan membaca sobekan koran yang memampang beberapa puisi. Setelah membaca saksama puisi-puisi tersebut, Fauzi meyakinkan diri: bisa membuat puisi seperti itu. Gampang

Tekad itu bukan kesombongan. Pun meremehkan penyair yang puisinya ada di sobekan koran tersebut. Benar-benar keyakinan mendalam. Terbukti. Setelah itu Fauzi menulis puisi. Seiring bergulirnya waktu, nama Fauzi masuk dalam daftar penyair Yogya.

Menulis puisi siapa saja bisa. Namun untuk bisa mendapat label penyair butuh proses. Harus ada karya berkualitas, serta pengakuan media cetak dan sesama sastrawan serta pengamat. Fauzi berhasil melewati dan mendapat itu.

Baca Juga: Epilog: Penyair Identik dengan Kemalasan?

Baca Juga: Kenapa Manusia Membodohkan Diri?

"Saya mbatin, kalau cuma seperti itu saya bisa. Lalu saya menulis lima puisi, saya kirim ke koran dan dimuat. Tanpa komentar. Padahal biasanya penulis pemula selalu dikomentari redaksi, kurang ini, kurang itu," kenang Fauzi, penyair veteran yang tinggal di Tembi Sewon Bantul Yogyakarta.

Usia SMA, tahun 1969, Fauzi mulai berpuisi. Pada saat itu ia juga sudah melukis. Ketika Persada Studi Klub yang dikomandani Umbu Landu Paranggi (alm) berdiri, Fauzi gabung. Memperdalam menulis puisi. Pertengahan 1970-an, nama Fauzi mulai berkibar sebagai penyair.

Puisi menjadi pilihan hati. Banyak hal ia dapatkan dari menulis puisi: mengimplementasikan keinginan benak, membabar keindahan, serta menguarkan misi.

Toh begitu hasrat melukis juga makin deras mengalir. Begitu antusiasnya, Fauzi masuk Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Impiannya: menebalkan ilmu melukis. Sayang, tak sampai setahun Fauzi di kampus seni ini.

"Waktu itu ada liburan ke Bali. Karena tidak punya uang untuk membayar studi tur itu, saya menyerah. Keluar dari ASRI. Biaya studi tur kala itu Rp 30 ribu," papar Fauzi.

Keadaan memaksa Fauzi harus mengakhiri keakraban dengan lukisan. Tak bisa melanjutkan melukis karena tidak punya tempat melukis. Pun tak mampu membeli peralatan lukis. Tidak punya uang.

Selama berpuisi Fauzi punya aktivitas harian sebagai penopang ekonomi rumah tangga: menjadi tukang sol sepatu. Profesi itu dinikmati hingga saat ini.Akhirnya Fauzi bisa kembali menekuni hobi lama: melukis. Sejak 2010, Fauzi berkarya di atas kanvas. Namun juga tidak seintens pelukis lain. Sekadar pengisi waktu. Juga tergantung modal.

"Lukisan ada yang laku, menghasilkan uang. Sementara puisi tidak. Belum mendatangkan uang," ungkap bapak dua anak itu.

Realitas itu tak membuat Fauzi kecil hati. Ia tetap bersyukur bisa berpuisi, meski dengan handicap yang tak kalah 'bengis'. Dari 1969 berpuisi, baru tahun ini Fauzi bisa menerbitkan buku antologi puisi tunggal berjudul Sepatu Ukuran Kupu-Kupu. Itu berkat kebaikan seorang teman.

Halaman:

Editor: Brian Hagar

Tags

Terkini

September Ceria Fashion Festival 2 Lebihi Target Peserta

Senin, 18 September 2023 | 13:02 WIB

Makanan Wajib Sultan Yogya Turun Temurun Ternyata Ini

Senin, 11 September 2023 | 19:24 WIB

Ani Seto Sajikan Kimono Lukis di Jogja Japan Week 2023

Senin, 4 September 2023 | 22:16 WIB

Subordinasi dan Konotasi 'Cegil' yang Sedang Viral

Senin, 21 Agustus 2023 | 23:27 WIB
X