Oleh Aguk Irawan MN
VARTA DIY -- Malam ini kita insyaallah akan bertemu dengan salah satu momentum terindah menurut mayoritas ulama, yaitu Nuzulul Quran 1444 H. Kata Alquran ini menurut Kamus Lisanul Arab terambil dari kata qa-ra-a, qiraatan, wa qur’anan, yaitu membaca, menelaah dan bacaan atau literasi.
Dari kata ini pula lahir iqra, yaitu bacalah (perintah membaca), sebagaimana perintah ayat pertama dari Alquran al-Alaq. Lalu ada juga kata istiqra, yang berarti meneliti atau observasi, juga lahir kata al-quru-u yaitu yang mengabdikan dirinya.
Sacara keseluruhan kata Alquran, menunjuk pada sifat literasi. Dengan demikian tak berlebihan jika Thomas Bartholin, teolog asal Denmark pernah mengatakakan, solusi kemacetan sains dan peradaban hanya satu, yaitu literasi.
Baca Juga: Terjadi Praktik Diskriminasi Konsumen Produk Tembakau, Pemerintah Abaikan Asas Perlindungan
Lebih dari itu, menurutnya, literasi tak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubahnya. Tanpa literasi, Tuhan diam, keadilan terbenam, sains macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan.
Karena dengan literasi, kepribadian seseorang, juga sosial bisa terbentuk, dan lantaran literasi pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta. Statemen ini masih terus bergema, bahkan pembuktiannya bisa lebih jauh dari hadirnya statemen ini.
Salah satu pembuktiannya, sudah ditulis oleh Ibnu Al-Nadim dalam kitabnya Al-Fihrist, menurutnya, ketika Islam pernah menggapai abad kejayaan pada abad 7 M, penggeraknya tidak lain adalah literasi. Khalifah Al-Ma’mun (813-833) saat itu menerapkan kebijakan agar tiap marhalah (desa) dibangun perpustakaan, lengkap dengan ribuan literasi.
Baca Juga: Beri Ruang Minoritas, PSI Siap Advokasi Pendirian Rumah Ibadat
Penjual literasi disubsudi dari uang negara, agar harganya tak lebih mahal dari sepotong roti. Berkat kebijakan ini, tradisi literasi begitu hebat, masyarakat setelah sibuk bekerja di pasar misalnya masih sempat berdiskusi, sementara sebagian yang lain sibuk menulis dan menerjemah karya Yunani Kuno. Dampak dari ini menjamurnya Akademi- Akademi, seperti Bait Al-Hikmah, Dar Al-Imi, dan lain sebagainya.
Tak sampai satu tahun berjalan dari kebijakan itu, lahirlah sarjana brilian seperti Al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; kemudian Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu Al-Jabar. Al-khawarizmi menulis karya monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah. Kebijakan ini juga diterapkan di Kairo.
Menurut catatan Sardar, di hampir marhalah (kampung) di Kairo, juga terdapat perpustakaan, yang terbesar adalah perpustakaan Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan di Aleksandariyah oleh salah seorang pejabat Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari 1,6 juta literasi, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.
Baca Juga: Sushi Kun Masakan Khas Jepang Hadir Kali Pertama di Solo. Ini Rasa Khasnya
Masih di Bagdad, pada 1227 M, khalifah Muntasir Billah, dikisahkan lebih dari itu, ia justru mencetak literasi dan dibagi-bagikan sendiri secara percuma, disetiap kunjungan kenegaraannya. Bahkan ia mendirikan jumlah perpustakaan lebih banyak ketimbang pendirian tempat ibadah.
Artikel Terkait
Pesan Gus Miftah dalam Peringatan Nuzulul Quran di Kampus UNU Yogya Dalem Banget
LDA Luncurkan Al Quran Bahasa Jawa Karya Paku Buwono X. Tandai Pergantian Tahun Baru Jawa
Pesantren Tahfiz Daarul Qur an Karanganyar Terwujudnya Generasi Penghafal Al Quran
Sekolah Islam Al-Azhar Cairo Gelar Sleman Quran Festival