VARTADIY –SLEMAN- Andai anak-anak muda tahu berapa cuan yang didapat petani ikan, mungkin mereka akan berbondong-bondong ingin jadi petani ikan.
Selama ini, sebagian besar anak muda yang menempuh pendidikan tinggi punya obsesi kerja di instansi pemerintah atau perusahaan besar yang menjanjikan penghasilan dan jenjang karier menggiurkan. Apalagi bila mereka lulusan perguruan tinggi favorit.
Tapi tidak demikian dengan Mashusi SP (48). Lulusan Fakultas Pertanian UGM ini justru tidak tertarik bekerja kantoran atau bergabung dengan perusahan besar. Pria lajang warga Sruni Wukirsari Cangkringan Sleman ini justru tertarik mengaplikasikan ilmu yang dimiliki untuk mengelola usaha di bidang pertanian.
Sejak masih mahasiswa, Mashudi sudah nyambi beternak sapi. Meski usaha ternaknya saat itu belum bisa dibilang besar. Namun setidaknya, dari kandang sapi itulah dia menumbuhkan spirit kemandirian dan berkreasi menemukan terobosan-terobosan yang bisa menghasilkan peluang.
"Pada 2012, saya terpaksa mengalihkan usaha. Saya tutup kandang, ganti haluan mengelola sektor pertanian. Menanam berbagai sayuran," kenangnya.
Mashudi menghentikan usaha ternak sapi gegara harga sapi saat itu terjun bebas akibat kebijakan pemerintah melakukan impor.
Diakui Mashudi, impor sapi dan bahan pangan, sampai sekarang memang menjadi hal dilematis. Satu sisi ada alasan pemerintah untuk mengamankan stok pangan dalam negeri. Di sisi lain berimbas terhadap harga bahan pangan di dalam negeri menjadi terjun bebas yang merugikan petani.
Kebijakan impor pangan juga mengundang kecurigaan adanya pihak tertentu yang mengeruk keuntungan. Namun di balik itu, ada pertanyaan, mengapa harga bahan pangan impor lebih murah. Adakah yang salah dengan dunia pertanian di negeri ini?
Terlepas dari kontroversi impor bahan pangan, setelah memutuskan tutup kandang, konsentrasi Mashudi beralih ke sawah. Dia kelola sawah-sawahnya dengan menanam berbagai sayuran yang dianggap memiliki ekonomis tinggi.
"Namun yang terjadi, bertani ternyata lebih susah. Diombang-ambingkan harga pasar.
Pada suatu saat, harga cabai bisa tembus seratus ribu. Namun pada suatu ketika harga nyungsep menjadi hanya lima belas ribu. Petani jadi bulan-bulanan permainan harga," jelasnya.
Tiga tahun Mashudi intens bersawah. Galau melihat prospek bercocok tanam di sawah tak memberinya profit sebanding jerih payah dan modal, dia akhirnya memutuskan pindah menekuni bidang perikanan. Di sektor inilah dia mula merasakan manisnya cucuran keringat.
***
GAGAL di peternakan sapi dan mengelola sawah, tidak membuat Mashudi patah arang. Dia kemudian banting stir mengelola usaha perikanan.