VARTADY.com - Istilah musikalisasi puisi di Indonesia, menurut penyair dan pelantun musik puisi asal Bali, Tan Lioe Ie, masih mengundang perdebatan (Musik puisi dari Istilah ke Aksi; 2005). Kredo tersebut dibenarkan Ana Ratri Wahyuni, pelantun lagu puisi. Warga Grojogan Wirokerten Bantul Yogyakarta ini menyebut polemik itu masih terus bergema hingga saat ini.
"Ini yang menjadi perbincangan dan diangkat dalam berbagai diskusi. Saya pernah mengangkat untuk tema diskusi di acara Sastra Sompilan Juni lalu. Dengan narasumber penyair Nana Ernawati dan komponis Royke B Koapaha. Terjadi kerancuan tentang keduanya, antara musik dan puisi. Namun intinya ini proses mengkolaborasikan sastra (puisi) dengan nada atau musik," papar Ana yang sering tampil di acara Sastra Bulan Purnama dan acara kesenian lain.
Lagu puisi versi Ana adalah melagukan puisi. Sedang musikalisasi artinya proses menjadikan sesuatu (puisi) menjadi musik. Ada pula istilah musik puisi dan beberapa istilah lain. Ana lebih suka istilah menotasikan puisi.
Baca Juga: Cak Nun Ngaku Salah Tapi Tidak Menyebut Nama yang Dihina Saat Minta Maaf
Menurut Rendra, puisi adalah musik. Tanpa musik sudah bernada. Ana membenarkan. "Seperti halnya musik yang mempunyai kaidah, puisi juga demikian. Kedua hal ini respons indera terhadap sesuatu dan dituangkan dengan media terdekatnya. Pun juga dengan lukisan," paparnya.
Melagukan puisi bagi Ana sebuah pilihan. Sebagai alternatif penyampaian isi puisi dengan lebih fun dan mudah dinikmati khalayak. Orang akan lebih mudah mengingat nada daripada kata-kata, keyakinan Ana. Seperti juga anak-anak dalam belajar, abjad pun ada yang dilakukan. Mereka cepat menghafal.
"Kenapa saya menikmati bernotasi puisi? Karena saya suka nyanyi," papar ibu satu anak itu. Bagi Ana, berkesenian adalah ibadah. Maka ia mengerjakan sebaik-baiknya. Selebihnya biar khalayak yang menilai atau bahkan menikmati.
"Seni itu upaya perantara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Seni adalah pengabdian atau jalan. Bila menyadari itu tentu tak akan terjadi kegelisahan, dan berkarya karena tujuan kita jelas," papar
perempuan berusia 50 tahun itu.
Tak punya keinginan muluk. Ana hanya berharap nada-nada mendukung puisi sehingga makin terasa maknanya. Meski tak sedikit juga yang justru merusak suasana atau bahkan makna puisi. Karena itu dibutuhkan kepekaan luar biasa dalam mencipta. Seseorang penggubah lagu puisi harus memaknai puisi terlebih dahulu sebelum menuangkannya dalam lagu.
Sejak 1991 berbasah ria di musik puisi. Pertama berkreasi bersama Kelompok Sabu, yang berdiri setelah pementasan sandiwara. Personelnya para pemain dan ilustrator musik pentas tersebut. Ana bertahan hingga 1994 di Sabu. Kesibukan membuatnya 'pindah haluan'. Mulai bernotasi puisi lagi tahun 2006 hingga sekarang.
"Sampai sekarang masih berteater lho. Hanya beda kalau bermusik puisi, saya nggak banyak ngapalin naskah. Nggak perlu ngumpulin banyak orang. Mengingat zaman sekarang sibuk, ngumpulin orang
'berkualitas' itu sungguh sulit ngatur waktunya. Nyanyi lebih mudah diaplikasikan ke acara apa saja, sehingga mudah dikenali dan lebih memasyarakat," ujarnya.
Sekitar 50 lagu puisi (karya sendiri) telah dibuat. Di antaranya Tebing Hati, Selendang, Kata, Malam, Bait Terakhir, Lelaki yang Bertanya, dan Pesta. Perkembangannya, banyak penyair yang minta digarapkan puisinya menjadi lagu puisi.
Baca Juga: Anak Kabur dari Rumah: Tindakan Impulsif Saat Tertekan dan Takut
"Kami hanya menotasikan puisi. Karena puisi sudah ada nadanya. Kami garap, tidak kami kurangi isinya, karena akan berpengaruh," papar Ana yang mengelola sanggar anak Rumah Kreatif Bintang. Kepuasan batin menjadi acuan utama. Maka tak ada materi berlimpah meski rajin manggung melagukan puisi.