Vartadiy.com – Berbahagialah mereka yang lahir sampai dewasa didamping kedua orang tua. Semoga mereka yang memiliki nasib mujur itu, bisa lebih bersyukur dan tumbuh menjadi anak yang lebih saleh dibanding mereka yang ditakdirkan lahir dan besar dari keluarga yang tak utuh.
Apalagi bila mereka yang lahir dari keluarga kurang beruntung tersebut terjadi jauh sebelum negara kita berkembang seperti sekarang,dimana pemerintah mengucurkan banyak program bantuan sosial bagi keluraga kurang mampu.
“Tidak enak lahir di keluarga broken. Namun itu tadir yang sudah saya jalani. Sejak kecil kedua orang tua saya pisah. Saya tumbuh dan dibesarkan dari lingkungan yang berpindah-pindah,” tutur Sri Wahono (55), sambil menitikkan air mata.
Baca Juga: Brigita Larasati Raih Friendship Award di Ajang Kids Star International 2022 di Pattaya Thailand
Mantan buruh bangunan yang kini menjadi mitra BRI sebagai vendor penyiapan kantor dan ruang ATM ini mengisahkan, masa kecilnya hidup penuh penderitaan. Kedua orang tua cerai, sewaktu dia masih kecil. Hidupnya berpindah-pindah, dari satu keluarga ke keluarga lain.
Beberapa tahun dalam pengasuhan ibu. Lalu pindah rumah ikut nenenknya di Randugunting Tamanmartani Kalasan Sleman. Lalu pindah lagi ikut ayah bersama ibu tiri di Prembun Kebumen.
“Kalau boleh memilih, jelas lebih senang ikut ibu kandung. Kasih sayangnya tulus. Apalagi pekerjaan ayah saya pegawai PJKA (sekarang PT KAI) yang tugasnya di lapangan merawat jembatan. Jarang pulang, jadi saya saat itu lebih banyak dengan ibu tiri,” tuturnya masih dengan linangan air mata.
Sekolah jenjang SD dirampungkan di Kebumen. Lalu Sri Wahono kecil pidah pengasuhan, ikut neneknya di Prambanan.
Dia mengisahkan, tak hanya tentang perasaan karena lahir dari keluarga broken yang membuatnya sedih. Kondisi perekonomian keluarga, dulu juga sangat memrihatinkan. ”Untuk bisa makan telur dan daging, harus nunggu bila ada tetangga punya hajat. Menunggu sedekah nasi kenduri, yang itu belum tentu sebulan sekali terjadi,” kenangnya.
Baca Juga: 5 Kisah Unik Gunung Bromo, Ada Pusaka di Bawah Lava
Kondisi sulit harus dihadapi Sri Wahono. Dia dengan sabar dan penuh keprihatinan menjalaninya. Sampai lulus SMP Prambanan Sleman, dia kemudian pilih kerja. “Melanjutkan SMA, tak ada biaya. Saya harus menerima keadaan, lulus SMP langsung cari uang. Ikut kerja jadi laden tukang,” ungkapnya.
Upah harian buruh laden tukang pada 1986 Rp 700. Dia gunakan upahnya itu untuk membantu kehidupan keluarga. “Saat itu kondisi di desa benar-benar tidak memberikan harapan. Saya bertekat harus segara merantau, mengubah nasib,” kata Sri Wahono.
