VARTADIY.com - Menulis sastra demi kepuasan batin. Namun ada juga yang berlatar kepentingan profesi. Fenomena guru menulis buku sastra (antologi puisi, cerpen) amsalnya. Tidak semua karena mencintai sastra. Semata mengejar poin untuk sertifikasi kenaikan pangkat.
Realitas yang banyak terjadi ini disorot banyak sastrawan. Triman Laksana salah satunya. Warga Mungkid Magelang Jawa Tengah ini mendirikan Padepokan Djagat Jawa tahun 2006. Sanggar belajar sastra dan budaya. Pengikutnya tidak hanya pelajar, juga masyarakat umum. Terutama guru-guru.
"Untuk guru paling banyak karena kebutuhan dinas. Mengejar poin untuk sertifikasi naik pangkat harus menulis dan diwujudkan dalam sebuah buku. Saat belajar, rajin datang dan konsultasi. Namun setelah buku jadi dan naik pangkat, biasanya tidak nongol lagi. Namun ada juga yang justru semakin intens menggeluti sastra, meski tidak banyak. Ada juga yang menghalalkan segala cara dengan mencari ghost writer untuk kenaikan pangkat," papar Triman Laksana.
Baca Juga: Menyamakan Bahasa Menegaskan Kesepakatan
Baca Juga: Tahun Baru Imlek 2023: Dua Videoklip Dibikin di Singkawang Kalimatan
Sanggar milik Triman Laksana sebagai tempat belajar bersama menulis puisi, gurit, cerpen, esai, dan lainnya. Peserta tidak dipungut biaya. Bagi sastrawan kelahiran 7 Juni 1961 ini, munculnya semangat menulis, terlebih berlanjut, sebuah kepuasan tersendiri baginya. Eksistensi yang bergema ke mana-mana, membuat Padepokan Djagat Jawa sering dikunjungi tamu perorangan dan kelompok dari berbagai daerah di Indonesia.
Berkat sastra, Triman mengaku mendapat kekayaan batin. Pun banyak saudara. Diakui, tak mudah memilih hidup sebagai sastrawan.
"Harus mau rekasa, berdarah-darah, pantang menyerah, juga terus berkarya. Jangan puas dengan tulisan yang sudah dihasilkan. Mau belajar dengan orang lain. Mau mendengarkan kritik dan pendapat orang lain," tandasnya.
Tentang kancah sastra sekarang, Triman melihat para penulis muda sangat dininabobokkan kemudahan. Sehingga merasa bangga saat tulisannya tayang di media massa. Merasa sudah sebagai sastrawan.
"Egois serta narsis. Sulit menerima kritik dan pendapat orang lain. Para penulis muda lebih senang dengan dunianya sendiri. Jarang bergaul dan berkomunikasi karyanya dibicarakan bersama. Prosesnya tidak suka berpanjang-panjang. Cepat putus asa kalau karyanya diapresiasi jelek. Cepat putus asa," papar Triman Laksana yang tak berlatar belakang pendidikan sastra. Belajar otodidak.
Triman Laksana lulusan STM Negeri 1 Jetis Yogyakarta jurusan listrik, tahun 1981. Tidak mampu meneruskan ke perguruan tinggi, kemudian menimba ilmu pada sastrawan senior, seperti Suwarno
Pragolapati, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa.
"Pengaruh budaya membaca sejak kecil. Meski orangtua miskin, sering meminjam buku-buku komik. Emak saya sering jadi buruh menjilid buku-buku cerita sejarah karya Widi Widayat, Herman Pratikto dari penerbit Muria Offset. Sehingga saya bisa ikut membaca gratis, selain dapat upah dari ikut memilah dan menjahit bagian-bagian buku. Dari situlah saya tertarik dunia sastra," ujar Triman Laksana yang pernah ikut Akademi Kepengarangan The Liang Gie dan Tuti Nonka.
Baca Juga: Puisi Asal Jadi Tak Bertahan Lama, Kata Penyair Dhenok Kristianti