VARTADIY.com - Perdebatan itu makin memuncak. Memanas.
"Tidak. Aku tidak melantur. Aku cuma mengherankan dirimu. Katanya kamu setiap hari menyetubuhi puisi. Tapi kamu jauh dari kebijaksanaan. Padahal puisi adalah inti kebijaksanaan. Sumber kehalusan budi pekerti. Di mana rahasia kemuliaan langit dan bumi serta segala bentuk kehidupan bersemayam di dalamnya. Ternyata tak ada hikmahnya kamu menyelam ke dalam rahim samudra bernama puisi. Bekasnya pun tak terbaca dalam tingkahmu. Aku sungguh kasihan padamu," kata nenek.
"Omong kosong! Hanya tukang mimpilah yang mau menyakralkan puisi. Bahkan menyembahnya seperti berhala. Seolah-olah puisi itu lebih penting dari hidup itu sendiri. Atau lebih bermanfaat dibanding kerja keras, duit, makanan dan minuman. Tak heran kalau penyair identik dengan kemalasan. Lebih suka mengagumi keelokan rembulan daripada menghayati hidup dengan membanting tulang. Lebih getol memejamkan mata daripada membuka mata. Lebih giat ngobrol daripada cari nafkah. Bahkan banyak yang tega menggelantung di ketiak istri," jawab redaktur.
"Oh, rupanya demikian pandanganmu terhadap para penyair," ucap nenek.
"Mau bagaimana lagi? Mengagumi mereka seperti dewa? Bah?"
"Lalu puisi itu apa menurutmu?" tanya nenek.
"Cuma hasil permainan pikiran!" kata redaktur.
"Gila," ucap nenek.
"Dilarang menyikapi puisi begitu itu? Tai kucing!!" ujar redaktur.
Petilan dialog drama Penyair yang Terbunuh karya Sri Harjanto Sahid (alm) memang banyak kesatiran. Menohok realitas. Namun jika dikembalikan ke nalar, mengandung kebenaran juga.
Sri Harjanto yang semasa hidup dikenal sebagai penyair, cerpenis, dramawan, dan pelukis, dikenal kritis. Bahkan kadang kontra kredo sebagian orang. Namun jika dicermati, kritis Sri Harjanto memang masuk akal.
Tentang penyair, amsalnya, seperti yang diperdebatkan tokoh nenek dan redaktur di atas. Di masyarakat, tak sedikit yang masih bangga dengan 'baju-baju berlabel'. Dengan 'label' tersebut, kadang merasa hebat, dikenal, beda dengan masyarakat biasa. Terlebih adanya kredo yang melatari kehebatan 'label' tersebut.
Dengan berani Sri Harjanto 'menelanjangi'. Tentu saja bukan asal tulis, atau berdasar imajinasi semata. Hasil mengamati, atau menemu kisah empirik.
Profesi, jabatan, harusnya tak membuat orang lupa. Tidak menjadikan lebih berharga. Manusia sama saja, tak ada yang beda! (Latief Noor Rochmans)