VARTADIY.COM – Parpol dan bacaleg kontestan Pemilu 2024 sedang berharap-harap cemas menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan yang diajukan Salah satu kader PDIP Demas Brian Wicaksono. Dia menjadi penggugat atas Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi .
Apakah MK akan melanggengkan sistem proporsional terbuka atau balik haluan kembali ke sistem proporsional tertutup?
Pemilu dengan sistem proporsional terbuka sudah berlangsung 3 kali. Pemilu 2009 menjadi saat pertama diberlakukan sistem proporsional terbuka dimana pada kontestasi tersebut menghasilkan Partai Demokrat sebagai pemenang. Kemudian pada Pemilu 2014 dan 2019 melejitkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi jawara perolehan suara sekaligus pemilik kursi terbanyak di parlemen.
Baca Juga: Jemaah Haji Tertua Sahid Tour, Usia 89 Tahun
Memang, bila dibanding Pemilu dengan sistem proporsional tertutup, ada nuansa yang sangat berbeda bila dibanding sistem proporsional terbuka. Rivalitas pada sistem proporsional terbuka tak hanya terjadi antar-partai kontestan. Namun antar-caleg dari satu partai pun terjadi persaingan berebut suara di lumbung yang sama demi memeroleh suara terbanyak agar memenangkan kursi legislatif.
Dalam bersaing, berbagai cara dilakukan. Termasuk mengumbar janji bahkan mengeluarkan materi untuk membujuk rakyat pemilik suara agar memilih mereka. Ongkos politik yang dikeluarkan caleg untuk ‘membeli’ hasrat duduk di kursi dewan relatif mahal.
Para caleg harus membentuk tim sukses sendiri, mengadakan alat peraga dan publikasi, serta banyak pengeluaran lain yang harus mereka tanggung.
Baca Juga: Reuni Aktor Teater Menteri Nadiem dan Butet, Apa yang Dibahas?
Secara bisnis, pemilu proporsional terbuka memang bisa mengungkit menggerakkan dan menumbuhkan sektor riil. Pengadaan barang dan jasa menjadi lebih bergairah dengan memposisikan parpol, penyelenggara pemilu (KPU) dan caleg sebagai konsumen.
Ini berbanding lurus dengan anggaran yang harus dikeluarkan negara, parpol maupun caleg, dimana dengan sistem proporsional terbuka, dana yang harus mereka anggarkan lebih besar.
Rakyat akar rumput sebagai pemilik suara pun kecipratan rezeki pemilu, entah berupa kaos caleg, sembako dan bahkan tak sedikit yang mendapata amplop berisi lembaran uang dari Rp 20 ribu sampai Rp 100 ribu.
Baca Juga: Legenda Sepakbola Dunia Diundang Untuk Tingkatkan Kemampuan Pesepakbola Muda Indonesia
Secara logika, sebenarnya partai pemilik kursi terbesar apalagi yang memiliki banyak kader menjabat di eksekutif, mulai bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, lebih diuntungkan dengan sistem proporsional terbuka.
Misalnya fasilitas anggaran yang dimilki anggota dewan. Politisi yang duduk di lembaga legislatif memiliki fasilitas dana reses yang bersumber dari anggaran negara. Dengan dana reses tersebut, legislator berkesempatan turun langsung ke masyarakat untuk melihat dinamika serta berbagai problem dan potensi yang ada.