Baca Juga: Presiden Jokowi Sempatkan Kunjungi Pasar Malang Jiwan Colomadu, Bagikan BLT dan Cek Harga Komoditas
Berdasarkan tipologi tersebut, dapat terlihat faktor yang mendukung dan menghambat terjadinya desistensi dari terorisme, seperti catalyst event dan idling mode. Ardi memaparkan teori desistensi dan karakteristik dari kejahatan terorisme.
"Teori desistensi menekankan perlunya penjelasan mengenai keterlibatan hingga berhentinya individu dalam kejahatan terorisme.
Kejahatan itu memiliki karakteristik yang cenderung langka, terselubung dan kolektif sehingga berbeda dengan kejahatan biasa," jelas dia.
Ardi memaparkan contoh terkait fenomena desistensi melalui perkembangan kelompok teroris seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang telah mengakibatkan perpecahan ideologi radikal di Indonesia.
Para jihadis di Indonesia merespon kemunculan ISIS dengan cara beragam seperti membentuk kelompok baru, pergi ke Suriah dan Iraq untuk bergabung, atau menanggapinya secara skeptis karena tidak relevan dengan perjuangan Negara Agama di Indonesia.
"Fenomena desitensi dari kemunculan ISIS dapat dilihat dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang didirikan oleh Santoso yang kurang diminati oleh kelompok radikal di Indonesia," tuturnya.
Di dalam disertasinya, Ardi juga memaparkan terkait masalah tidak tercapainya tujuan dari program exit from terrorism yang berakibat pada munculnya kasus residivis terorisme di Indonesia. Hal ini diperkuat dari temuan Polri yang menyatakan dua dari lima pelaku serangan terorisme di Sarinah tahun 2016 merupakan residivis kasus terorisme yang bebas pada tahun 2014.
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) juga mencatat bahwa dari 825 mantan narapidana terorisme yang dibebaskan antara 2002 dan Mei 2020, 94 orang di antaranya yang menjadi residivis teroris.
Menurut Ardi faktor munculnya aksi teror oleh mantan teroris disebabkan oleh penyebaran paham radikal di di Lapas, hubungan dekat dengan anggota keluarga yang melakukan kontak dengan kelompok teroris, dan penerimaan konsep ideologi radikal yang kuat memungkinkan tindakan fisik kolektif bersama kelompok teroris.
"Saya memakai pendekatan triple H untuk mengembangkan kerangka konseptual terkait terorisme secara lebih spesifik. Elemen heaven dapat dijelaskan menggunakan hubungan antara head dan heart, kemudian elemen habit dijelaskan melalui elemen head dan hand, sedangkan home dapat ditemukan melalui elemen heart dan hand," paparnya.
Angkat Disertasi Pendekatan Desistensi dari terorisme, Pakar Deradikalisasi BNPT Raih Gelar Doktor Termuda di UIBaca Juga: Dukung Muktamar Ke-48, Bank Muamalat dan Muhammadiyah Perkuat Kolaborasi
Temuan ini didasarkan pada hasil focus group discussion yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan. Dalam konteks heaven, Ardi menjelaskan bahwa penggunaan doktrin kekerasan berdasarkan ideologi agama dijadikan pembenaran bagi teroris karena dianggap menjamin mereka masuk surga.
"Doktrin ini menciptakan kader-kader militan yang siap menjadi brides of heaven. Bagi para teroris kematian adalah sesuatu yang diinginkan karena dapat kebahagian di surga," ungkapnya.